Ilustrasi |
Ketulusan dan pengorbanan merupakan dua keutamaan hidup
yang memiliki nilai diatas segalanya. Ketulusan dan pengorbanan tak dapat
dinilai dengan materi ataupun uang. Oleh karena itu seberapa pun besar bantuan
yang kita berikan kepada orang yang membutuhkan tak ada nilainya jika pemberian
atau bantuan itu tidak muncul dari niat yang tulus dan lahir dari hati yang mau
berkorban.
Tolak ukur pemberian bantuan berlandaskan niat yang tulus dan rela
berkorban adalah memberi tanpa memperhitungkan efek timbal balik. Memberi
dengan iklas itulah ketulusan. Berkorban tanpa mempertimbangkan untung rugi
itulah makna ketulusan pengorbanan sejati.
Jika kita memberi agar kita mendapat pujian itu bukan
ketulusan. Jika kita memberi supaya mendapatkan ucapan terima kasih itu juga
bukan tentang ketulusan dan pengorbanan.
Dalam dunia
politik kita sering jumpai ketidaktulusan. Bukan hal baru jika seseorang yang
mau menduduki jabatan politis tertentu tiba-tiba menjadi sinterklas. Bantu
sana. Bantu sini. Maklum ingin menarik
simpati. Ia memberi supaya ia dipilih atau apapun kepentingannya. Inilah wujud
pemberian yang menuntut balasan. Ia memberi supaya ia menerima. Ia menolong
agar ia tertolong.
Sebenarnya memberi dalam konteks politik itu sah-sah
saja. Hanya bahwa pemberian itu tidak tulus. Fatalnya berdampak pada proses
demokrasi. Orang akan memilih bukan karena kehendak dan hati nuraninya tapi
karena faktor balas budi atau balas jasa.
Dalam kenyataan
sosial kita juga pasti mengalami hal serupa. Bisa saja kita adalah subyek yang
melakukan hal itu. Mungkin saja kita memberi karena ada niat agar kita dikenal
atau kita dipuji. Jika itu yang terjadi maka kita tidak melakukan hal itu
dengan tulus.
Dalam kehidupan ini banyak kisah-kisah inspiratif yang
mungkin saja menjadi good teacher bagi kita dalam melakukan pemberian yang
tulus.
Alkisah, pada pertengahan tahun 1970, seorang pemuda
dari pendalaman Thailand mengiklaskan ginjal diambil untuk tetangga yang
mengalami gagal ginjal. Dokter memvonis tetangganya tersebut akan meninggal
jika tidak dilakukan pencangkokan ginjal.
Mendengar informasi tersebut sang pemuda tadi segera
ke kota dan menemui pimpinan Rumah Sakit untuk memberikan ginjalnya bagi sang penderita.
Kepada dokter dan pimpinan rumah sakit ia tak memberitahukan asalnya bahkan
identitasnya. Bahkan kepada pasien atau keluarga pasien. Kepada warga di
kampung pun ia tak pernah menceritkan tentang maksud dan tujuannya ke kota.
Sesampai di kota ia juga tak menjelaskan identitas dan asalnya kepada dokter
dan pimpinan rumah sakit.
"Asalkan pasien tersebut sembuh karena dia juga
memiliki hak untuk hidup," katanya kepada Pimpinan Rumah Sakit yang
meminta berapa harga ginjalnya.
Lalu tak beberapa lama ginjalnya pun diambil dan
dipasangkan pada pasien yang nota bene adalah tetangganya tersebut. Usai
dioperasi sang pemuda tadi pergi dan kembali ke kampung halamannya dan menjalankan
aktivitasnya seperti biasa.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pasien
tersebut sembuh dan diperkenankan untuk kembali ke kampung halamannya. Namun
sebelum ia meninggalkan Rumah Sakit sang pasien bertanya siapa yang
mengiklaskan ginjalnya dipasangkan padanya. Namun pimpinan rumah sakit hanya
menjelaskan ada seorang pemuda yang datang dan mengiklaskan ginjal tapi seluruh
petugas media di rumah sakit tersebut tak tahu identitas pemuda tersebut.
Sang pasienpun kembali ke kampung halamannya dan
menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Sementara sang pemuda juga
menjalankan kehidupannya sehari-hari dan tak pernah menceritakan kepada
siapapun bahkan kepada tetangga dan keluarga tentang kisahnya tersebut hingga
maut menjemputnya.
#petrusrabu
#Tulisan ini pernah dipublis di Vebma.com
No comments:
Post a Comment